jerami yang rapi tersandar disudut
ruangan itu,
derit bambu-bambu usang nan tua iringi
langkah hari ini,
namun suara orkestra nampak terdengar
keras dijemariku
memandangi lantai tanah yang berganti
keramik itali
pesan ibu menjadi setitik elegi masa
lalu,
yang kini sibuk dengan lalu lalang di
dalam otak ini
disebrang jalan terlihat kaki-kaki
beralas jemari
menapaki tiap jengkal lingkaran kertas
bertinta emas
peluit menderu memojokan besi tua yang
terbalas upeti
pemegang palu bermain bidak beralaskan
tubuh yang lemas
suasana ini tetap hening disaat semua
bersautan kembali
jeruji pun menjadi istana megah tak
beralas
duduk bersimpu pada dada, kepala
tertunduk dalam tanya
tangan lemas mencengkram erat kedua
kakiku yang sayu
ada hal yang tak bisa terjelaskan dalam
sebuah cerita
tentang hal-hal yang perlahan berlalu
dan terganti waktu
namun inilah aku, bukan orang lain dan
bukan mereka
inilah aku yang belajar untuk tak punya
rasa malu
tawa kerasku membuncitkan perut dan
tubuh ini
tangisan memberikanku kekuatan untuk
semakin tertawa
kelaparan mengajarkanku untuk menjadi
lupa diri
kematian semakin membutakan seluruh isi
kepala
kekayaan mentertawakan kemiskinanku
sendiri
yang akhirnya tersisa hanya jerami tua
terbungkus asa
ingin aku buka, sedikit saja pintu yang
tersisa
untuk sekedar bercerita tentang makna
yang tak kupahami
dan berdendang diatas lantai tanahku
yang ada
menari bercerita diantara senyum ibu dan
diri ini
sebelum akhirnya aku menutup semua buku
kehidupan yang ada
dan membuka topeng wajahku yang selama
ini tersembunyi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar