15.00-14 okt 2011
Hening
dan panas, terbangun dari kamar tidurku di rumah eyangku yang sempit, pengap,
panas namun nyaman. laptop seperti biasa terbuka setia menemani, dengan lagu
alm gesang yang membuat nuansa desa semakin kental di kamar ini. sesaat
teringat akan cerita masa lalu, dikala anak kecil tertawa berlarian diantara
pintu-pintu yang mulai sepi menderit. sapu-sapu melayang dan tawa anak kecil
semakin keras terdengar dihiasi kaki-kaki kecil yang berlari semakin kencang
menabrak pintu. sebuah coretan kecil masa lalu yang tergambar jelas diantara
sketsa wajah karya hadinata yang menempel di tembok papan kayu kamar.
Minggu
ini sastra semakin menguak diantara sendi dan otot otakku, semacam kromosom
dalam sel darah merah yang semakin menggeliat membuat resah antara logika
dengan perasaan. galau itu kalimat awal yang kemudian muncul diantara serpihan
kalimat yang berjuta jumlahnya, kalimat alay yang kemudian terdapat setelahnya.
namun logika merespon marah dengan memberikan pemikiran obyektif, bahwa tak ada
yang namanya alay ataupun galau, yang ada hanya luapan emosi seorang manusia
yang tertuang dalam berbagai sendi bahasa dan perilaku yang terkadang tak kita
mengerti maksudnya.
Entah
berapa juta kalimat dan kata melayang diantara sendi otak ini yang mengaburkan
bayanganku tentang tempatku berpijak kini, semua yang aku tulis hanya sebagian
luapan yang terdapat dalam otakku yang ingin keluar dan berteriak dari
sempitnya pemikiran ini. ada yang tak mampu kulupa dari setiap perjalanan sendi
kehidupan yang aku alami dalam beberapa tahun terakhir. aku memandang wajahku
dalam kaca yang nampak jauh, seakan berat badanku semakin bertambah semenjak 3
tahun lalu aku menginjakan kaki di tanah perantauan, tak terasa hampir 3 tahun
sudah aku bergulat di tanah rantau dan mengenal berbagai karakter perjalanan
manusia.
Perjalanan
semakin menarik, antara kenyataan idealisme dan impian, ini hal yang aku sadari
bertolak dalam jiwa dan otakku yang menjadi sempit. aku bingung dalam tertawa,
ketika sebuah celoteh menari nari diantara gemerlap kaki kaki yang bingung
dengan kalimat ini. aku diam mengisyaratkan sebuah tulisan dalam secarik kertas
yang berterbangan diantara sisi yang lain. mungkin tak akan pernah anda
mengerti apa isinya. semua semakin berantakan dengan terbenturnya pemikiran
dengan realitas yang menghadang sebagai tembok besar yang semakin rumit untuk
dijelaskan dengan sebuah logika dan perasaan sekalipun, ada sesuatu yang aneh
dalam pemikiranku kali ini, seakan semua terhenti pada satu distorsi kemudian
menghilang dalam sisi poros yang berlainan arah.
Tak
ada yang namanya manusia dalam sisi taraf ini, kucoba menerka siapa yang mampu
menahan cerita dan otak ku yang semakin memuncak ingin meletus. semua hanya
diam bingung dan menemukan titik buntu yang semakin bertautan dalam sisi yang
beringas, sebuah lagu ini membuka inspirasi dari mata-mata yang menulis dalam
bahasa-bahasa tanpa konsepan ini. semua abstrak tak ada yang relevan dalam EYD
sekalipun semua semakin buyar metafora dan majas pun seakan diluar penalaran
kali ini. diam menjadi pilihan saat ini, namun semua tak bisa selamanya diam,
adakah yang bisa membuka dan menghiasi otak dan lidah yang kaku ini.
Entah
kenapa, sebuah subyektifitas manusia semakin menjadi dasar sebuah pembenaran
dalam berperilaku mereka, manusia memang makhluk sempurna dengan segala
kesempurnaan yang dimilikinya, seakan menjadikan manusia menjadi “TUHAN” dalam
menentukan sebuah kebenaran yang hakiki. Setiap manusia memiliki alasan dalam
melakukan semua tindakannya, namun tidak semua alasan mampu untuk dijadikan
sebagai sebuah alasan. Kita masih merasa sombong dengan kedangkalan ilmu kita,
kita bersua memberikan penilaian subyektif kita sebagai sebuah obyektifitas
dalam berfikir, kita tak lebih dari sebatas daging bernyawa dengan akal dan
sifat yang komplek mengelilingi tiap sendi peredaran darah yang menjadi lambat
dalam detak jantung yang semakin diam.
Kita
berdiri disudut jalan dengan kaki yang rapuh dan mata yang memandang dari sisi
kejauhan yang memberikan arti daripada sebuah kontradiktif pemikiranku sendiri.
Semua mata menuju dalam titik hitam diantara pekatnya kabut yang menutupi pandanganku hari ini, sebuah
perjalanan manusia yang semakin lemah mengisi tiap jengkal nadi yang semakin
surut oleh langkah yang mati. Aku tak mengerti kenapa susunan kalimat ini
keluar dan bernyanyi diantara rimbunya kata kalimat yang semakin acak mengisi
kesunyian jalan hari ini. ombak pun nampak terdiam membisu diantara derunya
yang memecah gelombang angin. Aku masih sempat bernyanyi diantara nada-nada
yang menjadi sumbang, mengulaskan sedikit makna yang tersembunyi dianta helai
daun yang menjadi layu dan rapuh.
Layang-layang
terkekang dan akhirnya terbang diantara gerimis yang membasahi bumi, terbang
melawan angin yang berhembus diantara kertas yang telah koyak termakan cuaca.
Aku hanya ingin tahu, kenapa aku harus memiliki susunan kata ini dalam otak
kecilku, sebuah pohon besar tumbuh dan terus berkembang, namun akar tak mampu
mencari air dan makanan jauh kedalam, sebuah benda besar menghadang dan tak
mampu diterjang, seakan ada hati yang memberikan isyarat yang terhenti diantara
rimbunnya pepohonan yang semakin hilang termakan masa. Biar kucumbui bayang
bayang pohon, dan kusandarkan dalam bingkai kehidupan yang kini ada. Namun
sebuah titik balik kehidupan datang dan menghilang diantara bekas pasir yang
menjadi abu menguning.
-Mozienk-
Sebuah Kontradiksi dalam jiwa