Rabu, 04 Juli 2012

Terusan Kra: Apa Artinya bagi Kawasan Ekonomi Khusus Batam-Bintan-Karimun dan Sabang ?


Oleh: Bonnie Setiawan

Posisi Strategis Terusan Kra
Banyak orang tidak begitu mengetahui di mana Terusan Kra (tanah genting Kra) ini, dan apa pentingnya sehingga bisa mengubah geo-ekonomi global (khususnya Asia Timur). Kita tahu Asia Timur saat ini semakin hari semakin menjadi pusat ekonomi dunia, seiring dengan semakin turunnya pengaruh AS sebagai negara adidaya (terutama akibat krisis akhir-akhir ini) maupun belum naiknya Eropa (Uni-Eropa) sebagai pusat ekonomi baru. Banyak yang mengatakan bahwa kelompok negara-negara G-7 (AS, Kanada, Eropa Barat, Jepang) akan segera disaingi oleh kelompok BRIC (Brazil-Russia-India-China). Mereka adalah negara-negara yang sungguh-sungguh mampu berdikari (berdiri diatas kaki sendiri) dan punya tradisi otonom dari Barat. Terutama Russia dan China akan bangkit luar biasa. Ini semua mengindikasikan akan terjadinya perubahan geo-ekonomi global secara mendasar dalam waktu dekat ini.

Terusan Kra adalah salah satu fenomena penting. Terletak di perbatasan antara Burma (Myammar) dan Thailand, ini adalah jembatan darat sempit yang menghubungkan Semenanjung Melayu dengan daratan Asia. Bagian timur dari jembatan darat ini milik Thailand, dan bagian barat milik Myanmar divisi Taninthary. Di barat tanah genting ini adalah Laut Andaman, di timur adalah Teluk Thailand. Bagian paling sempit antara  sungai Kra dan teluk Sawi dekat kota Chumpon memiliki lebar 44 km, dan memiliki ketinggian maksimum 75 meter di atas permukaan laut. Tanah genting ini dinamai dari kota Kra Buri, di Provinsi Ranong di Thailand, yang terletak di barat dari bagian tersempit. Sudah sejak tahun 1677 Raja Thai Narai mempunyai ide untuk membangun jalan air yang menghubungkan Songkhla dengan Marid (sekarang Myanmar). Terusan Kra sudah sejak lama diidamkan untuk menjadi semacam “terusan Suez”-nya Asia, yang menghubungkan langsung jalur kapal antara bagian barat dunia dengan timur. Akan tetapi teknologi di masa lalu belumlah memungkinkan untuk dibangunnya terusan semacam itu. 

Terusan Kra menjadi heboh ketika keluar bocoran laporan Menteri Pertahanan AS Donald Rumsfeld di tahun 2005, yang dilaporkan Washington Times, yang menyatakan adanya strategi China untuk membangun terusan senilai US$20 miliar melalui Tanah Genting Kra, lengkap dengan fasilitas pelabuhan China, sebagai bagian strategi penguasaan pangkalan dan keamanan energi. Dalam perkembangannya, pada saat ini Pemerintah Thailand berencana untuk membangun dan membuka Terusan Kra pada tahun 2010. Thailand telah menganggarkan dana sebesar US$ 21.2 miliar untuk pengerukan terusan tersebut. Praktis bila Terusan Kra ini dapat dibangun, maka lenyaplah sudah posisi strategis Selat Malaka dan Singapura sebagai hub internasional. Saat ini Selat Malaka sebagai jalur pelayaran sepanjang 612 mil merupakan salah satu jalur pelayaran terpenting di dunia, di mana sekitar 50 ribu kapal melintasi jalur ini setiap tahunnya dan hampir 80% keperluan minyak Jepang melalui jalur ini. Aktivitas jalur Selat Malaka menuju Selat Philips untuk transit di Singapura saat ini sudah terlampau padat. Lebar jalurnya hanya 1,5 mil, sementara ukuran kapal tanker dan kapal kargo yang melewatinya terbilang raksasa. Akibat padatnya aktivitas pelayaran ini, seringkali menimbulkan kemacetan dan berpotensi menimbulkan masalah. Bila nanti Terusan Kra selesai dikerjakan, maka akan berubahlah arus lalu lintas perdagangan dan pelayaran. Arus kapal-kapal niaga dari kawasan Eropa tidak perlu lagi harus melalui jalur Selat Malaka untuk menuju kawasan Asia Timur.

Hal ini akan mengubah total posisi geo-ekonomi dan geo-politik di Asia Tenggara. Singapura yang tadinya merupakan negara kecil makmur akibat posisi geografisnya tersebut, bisa-bisa kehilangan kemakmurannya dalam sekejap, dan tinggal menjadi negara biasa-biasa saja. Sebaliknya Thailand, Burma, Malaysia, Kamboja, Vietnam dan Indonesia bisa mendapat rezeki nomplok. Tapi apa yang bisa didapat Indonesia?

karte_golf_von_thailand.pngPosisi Strategis Sabang

Sambungan ke luar dan masuk dari Terusan Kra adalah pelabuhan Sabang di Aceh dan pelabuhan Bitung di Sulawesi Utara. Kedua-duanya sejak lama adalah pelabuhan alam yang sangat baik dan berkelas dunia. Pelabuhan Sabang memiliki kedalaman laut yang memadai bagi kapal-kapal besar berukuran 100.000 ton untuk merapat ke dermaga. Dibentengi oleh pulau Klah yang mampu menahan gempuran ombak sebesar apapun, termasuk oleh gempuran gelombang tsunami kala itu, membuatnya menjadi pelabuhan terbaik yang dimiliki oleh Indonesia. Pelabuhan Sabang, menurut penelitian, adalah satu dari lima pelabuhan alam terbaik di dunia. Sementara pelabuhan Bitung, kedalaman lautnya yang sampai 25 meter membuatnya dapat dirapati oleh kapal-kapal besar. Keduanya berada di jalur pintu masuk dan keluar Terusan Kra, sehingga punya potensi luar biasa sebagai pelabuhan bebas internasional yang akan punya posisi strategis.

Terutama kita perlu melihat Sabang. Pelabuhan Sabang sangat potensial menggantikan pelabuhan Singapura. Bayangkan bila kapal-kapal niaga maupun kapal-kapal kargo dari Terusan Kra hendak berlayar ke arah Afrika atau Asia Selatan lewat Laut Benggala atau Samudera Indonesia. Begitupun sebaliknya. Dalam waktu singkat, Sabang akan menjadi pelabuhan besar internasional dan kelas dunia yang jauh lebih baik dari Singapura. Singapura akan mati kutu. Pelabuhan Sabang adalah pelabuhan yang bebas pendangkalan, sehingga tidak memerlukan biaya pengerukan yang sangat mahal sebagaimana pelabuhan di Singapura. Sayangnya memang, pemerintah Indonesia sendiri yang belum serius atau mudah ‘dibeli’ Singapura, sehingga menelantarkan Sabang sebagai sebuah wilayah pelabuhan perdagangan internasional paling strategis. Sabang juga masih memerlukan banyak kelengkapan infrastruktur, seperti refinery, tangki minyak raksasa, dok terapung, gudang dan berbagai fasilitas lainnya, termasuk juga berbagai pusat pelayanan jasa. Dalam perspektif ke depan, bila Sabang dilengkapi dengan Batam, Bintan dan Karimun serta kepulauan Riau lainnya akan menjadi pusat perdagangan utama Indonesia, yang tidak kalah menariknya dibandingkan kota-kota pusat perdagangan China di pesisir seperti Guangzhou, Shanghai, Shenzen dan lain-lain. 

Karena itulah sampai sekarang Singapura (dan Malaysia) berusaha keras mencegah agar Sabang tidak menjadi apa-apa, karena mereka tahu potensi besar pelabuhan Sabang. Singapura saat ini masih menikmati “hak istimewanya” sebagai penguasa Selat Malaka. Singapura juga menjadi jumawa, karena dengan posisinya tersebut telah menjadi negara paling maju dan makmur di Asia Tenggara. Padahal Singapura sangat tergantung pada dua negara tetangganya, Indonesia dan Malaysia. Singapura sangat tergantung dengan pasokan air bersih dari Malaysia. Tiga puluh persen uang di Singapura sebenarnya dikuasai oleh orang-orang kaya Indonesia. Demikian pula Singapura menikmati berbagai kekayaan sumber alam dan pertanian Indonesia yang selalu lewat Singapura sebagai bahan mentah, yang kemudian mereka olah sebagai sumber pendapatan Singapura. Singapura menikmati pendapatan dari refinery (pengolahan) minyak mentah Indonesia yang kemudian dijual kembali ke Indonesia. Singapura juga menikmati coklat dan kopi mentah Indonesia yang kemudian diolah kembali untuk diekspor oleh Singapura. Singapura dengan fasilitas FTA (perjanjian perdagangan bebas) dengan AS, menguasai Batam, Bintan dan Karimun (BBK) sebagai wilayah produksinya yang bebas bea dan diekspor sebagai produk Singapura, dan tentu saja keuntungan bagi Singapura. Singapura juga mencoba ‘menjajah’ kawasan ekonomi khusus BBK sebagai kepanjangan teritori ekonominya yang serba sempit itu. Sayangnya orang-orang penguasa Indonesia mau saja dibodohi ataupun membodohi dirinya sendiri, yang penting dapat fee atau rente ekonomi untuk kantongnya sendiri saja.  

Sebenarnya posisi strategis Sabang dan Pulau We dalam kaitannya dengan pembukaan Terusan Kra sudah mulai diantisipasi oleh pemerintah. Pada masa pemerintahan Gus Dur, pemerintah memberlakukan UU no. 37 tahun 2000 tanggal 21 Desember 2000 yang memberlakukan kembali Sabang menjadi kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas (free port). Ini kembali menghidupkan Sabang sebagai pelabuhan bebas sebagaimana yang telah ditetapkan oleh Bung Karno lewat Perpres No. 22/1964 serta UU no. 10/tahun 1965 yang menetapkan Sabang sebagai free port untuk kurun waktu 30 tahun berikutnya. Sayangnya pemerintahan Orde Baru kemudian membekukan status tersebut karena adanya Gerakan Aceh Merdeka.  Bahkan karena adanya pembukaan pulau Batam sebagai kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas, maka Sabang statusnya dimatikan berdasarkan UU No. 10 tahun 1985. Pada masa pemerintahan Megawati, telah dimulai pembangunan dermaga baru pelabuhan Sabang dalam mengantisipasi perkembangan tersebut. Akan tetapi kini hampir tidak terdengar lagi dorongan bagi penguatan Sabang. Bahkan pemerintahan SBY-JK lebih memprioritaskan FTZ BBK sebagai bagian dari manajemen Singapura, dan mendorong diundangkannya RUU KEK dalam waktu dekat ini, yang semakin tidak jelas maksud dan tujuannya, namun yang pasti pro kepentingan pemodal besar. 

KEK BBK mau kemana?

Karena itu mendiskusikan Free Trade Zone (FTZ) atau Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) BBK, tidak akan lengkap bila tidak memasukkan Sabang sebagai sebuah strategi besar Indonesia dalam menghadapi perdagangan global kawasan. Sampai saat ini FTZ BBK hanya menjadi mainan pengusaha-pengusaha kroni-rente, dari sejak Suharto sampai SBY. Dari sebuah ide awal sebagai pesaing Singapura di masa-masa awal pemerintahan Orde-Baru, kian lama malah hanya diposisikan sebagai ‘halaman belakangnya’ Singapura. Semua triliunan rupiah uang negara untuk membangun BBK, tidak menjadi apa-apa. Sebagai FTZ, Batam gagal total, karena konsepnya tidak pernah jelas. FTZ BBK hanya menjadi wilayah khusus ekonomi rente bagi kelompok-kelompok yang punya akses di dalamnya. Banyak salah kaprah dalam pembangunan BBK, sehingga pada akhirnya malahan lebih besar investasi perusahaan dalam negerinya ketimbang perusahaan asing. Demikian pula keistimewaan bebas bea diberlakukan juga untuk orang-orang yang mendiami kawasan tersebut, sehingga mirip kawasan asing. Akhirnya salah kaprah ini membawa BBK sebagai kawasan ekonomi “antah-berantah”, karena tidak tahu mau ke mana. Kesalahan strategis!

Kini perlu ada koreksi mendasar atas kawasan BBK, serta menempatkannya dalam kesatuan strategis dengan kawasan Sabang. BBK bisa diposisikan kembali sebagai pusat refinery (pengolahan-pengilangan) minyak Indonesia, dan sebagai basis industri minyak PERTAMINA yang akan dapat menjadi perusahaan minyak kelas dunia. BBK harus dikuasai kembali dan diputus keterkaitannya dengan Singapura. BBK dikoneksikan secara strategis dengan Sabang sebagai pelabuhan bebas kelas dunia dan Aceh sebagai pusat perdagangan internasional menggantikan Singapura. 

Demikian pula konsep KEK yang saat ini didorong untuk segera menjadi UU KEK harus mampu menangkap arti strategis ke depan dari kawasan-kawasan strategis semacam itu. Celakanya KEK yang dimaksudkan saat ini hanya sebagai konsep perdagangan bebas yang membuka sebebas-bebasnya daerah-daerah strategis di Indonesia bagi eksploitasi modal dan pengerukan sumberdaya alam Indonesia, khususnya bagi korporasi dan investasi modal asing. Tidak ada strategi bagi wilayah-wilayah khusus di Indonesia, khususnya bagi daerah pelabuhan terdepan dan perbatasan internasional. Saat ini KEK disalahartikan sebagai pengembangan wilayah yang capital-driven, terutama foreign-capital driven dengan membuka surga bagi investasi asing seluas-luasnya. Salah kaprah ini bersifat strategis dan akan mendatangkan malapetaka ke depan. KEK yang diperlukan adalah hanya untuk wilayah-wilayah pelabuhan bebas yang strategis bagi kepentingan nasional dan yang mendatangkan sumber pendapatan melimpah bagi ekonomi nasional, bukan sebaliknya. Yang perlu dikembangkan selain kawasan Sabang dan Kepri, adalah kawasan-kawasan ekonomi khusus di sepanjang pantai utara Indonesia yang menghadap kawasan Pasifik, seperti Bitung dan Amurang di Sulawesi Utara, Morotai di Maluku Utara, serta Biak dan Sorong di Papua. Karena lokasinya yang dekat dengan kota-kota dagang di Asia Timur dan Pasifik, maka kawasan-kawasan ini akan dapat tumbuh pesat sebagai “Guangzhou-Shanghai-Shenzen”nya Indonesia, dan menjadi pusat-pusat kegiatan ekonomi baru nasional.

Hakul Yakin, dalam waktu tidak lama, Indonesia dan khususnya kawasan ujung selatan Sumatera akan memainkan peran strategis dalam perdagangan global. Indonesia harus bisa mencontoh keberhasilan kawasan pesisir China. Kawasan perdagangan bebas tidak berarti menjadi kawasan yang ‘dijajah’ dan dikuasai oleh negara-negara yang lebih maju, akan tetapi justru menjadi kawasan garda depan kekuatan perdagangan dan ekonomi nasional, yang akan memperkuat ekonomi Indonesia bagi kesejahteraan rakyatnya. ***  

Kepustakaan:
1.    KOMPAS, 23 Desember 2000; 29 Agustus 2001
2.    Wikipedia Indonesia 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar