Badak Jawa. beritaaneh.com
TEMPO.CO , Ujung Kulon: Ujung Kulon-Badak Jawa adalah hewan sensitif. Hewan bernama latin Rhinoceros sondaicus desmarest sangat peka terhadap bau-bauan di luar spesies mereka. Sehingga sangat sulit melihat hewan mammalia ini secara langsung. Karena badak Jawa selalu kabur jika mencium aroma atau mendengar keberadaan makhluk di luar komunitas mereka.
Sifat pemalu itu justru membuat, hewan berkulit tebal (25-30 mm) itu jadi terkesan misterius. Membuat banyak pengunjung penasaran yang sekaligus menjadi daya tarik kawasan Taman Nasional Ujung Kulon. Jadi jangan mimpi bisa menunggang badak kalau hanya sekali berkunjung ke Ujung Kulon.
"Saya lima belas tahun di sini saja, baru sekali melihat badak," kata Staf lapangan Organisasi Lingkungan World Wild Fund Ngatiman, Sabtu, 16 Juni 2012.
Tapi tak perlu kecewa tak bertemu badak. Hewan bercula satu itu meninggalkan banyak jejak di kawasan sekitar Ujung Kulon. Jejak itu adalah patung badak, gantungan kunci, teko, tas anyaman, hingga kaos. Jejaknya berubah menjadi penggerak ekonomi di sekitar kecamatan Sumur, Pandeglang, Banten. Kecamatan terdekat dengan Taman Nasional di bagian Gunung Honje utara.
"Biasanya rame pesanan kalau lagi liburan," ujar Armat Fauzi Ridwan, perajin kerajinan badak dari kayu. Pria 34 tahun itu, termasuk perintis dalam pembuat kerajinan badak. Sejak 25 Juni 1995, Armat bergabung dalam kelompok pertama pemberdayaan penduduk sekitar kawasan Taman Nasional oleh WWF. Tujuh belas tahun kemudian, rupa-rupa kerajinan badak kayu sudah bisa ditemukan di desa Ujungjaya dan Cibadak.
Armat mengklaim bahan baku ukirannya adalah kayu limbah. "Dari limbah bekas pembangunan rumah kayu warga sini," ujar pelatih kerajinan itu. "Kami tidak berani pakai kayu gelondongan dari kawasan (Taman Nasional)," ia menambahkan.
Kalau kekurangan bahan baku, biasanya mereka membeli sisa dari tukang kusen berupa kayu Lame dan kayu Mahoni. Hasta karya badak itu, menurut Armat, menjadi pengingat spesies langka yang kini tinggal 35 ekor di Ujung Kulon.
Dengan menjadi perajin, Armat bisa meraup pendapatan bersih Rp 500 ribu-Rp 1 juta per bulan. Untuk penjualan, selain di rumahnya, ukiran tersebut juga dipasarkan di stand WWF. Armat sudah murni menjadi perajin. Awalnya ia adalah penggarap sawah yang kadang berhenti tatkala kemarau tiba.
Kini ia melatih keterampilan membuat badak bagi warga Kampung Cinibung. Bagi Armat, menjadi perajin berarti mendapatkan penghasilan tambahan di musim kemarau, waktu bertani tak lagi menguntungkan.
Ngatiman menuturkan sebenarnya sebelum badak banyak jenis ukiran lain yang coba dibuat. "Tapi imaji badak di Ujung Kulon yang kuat, jadi hanya badak yang laku," ujarnya. Imaji Badak pula yang kini mulai dijual Ajat Sudrajat. Pria 63 tahun itu asyik mengampelas teko batok kelapa bernuansa badak ketika ditemui pada hari yang sama.
"Baru dua bulan ini saya buat yang begini," ujar pria yang sebelumnya perajin alat masak dari batok kelapa selama 20 tahun. "Ide sih ada aja, tapi Alloh baru menentukan sekarang," kata warga kampung Cikaung Ujungjaya itu mengungkapkan alasannya membuat seperangkat teko dan gelas bertema badak. Ajat belum mengumpulkan rupiah dari teko bermulut cula itu, tapi ia yakin efek badak bisa menambah nilai jual perabot minum tersebut.
Ide badak juga yang merasuki Nur, 26 tahun. Jiran Ajat itu bersama para Ibu kini membuat anyaman daun nipah berhias badak. Ada tas, tikar, tempat telepon. Baru empat bulan aktivitas mereka, tapi sudah banyak yang memesan anyaman itu, khususnya instansi pemerintah. Meski keberadaannya jarang terlihat, jejaknya adalah rupiah bagi warga Kecamatan Sumur.
Sumber : http://www.tempo.co/read/news/2012/06/19/198411441/p-Badak-Jawa-Penebar-Rupiah
Sifat pemalu itu justru membuat, hewan berkulit tebal (25-30 mm) itu jadi terkesan misterius. Membuat banyak pengunjung penasaran yang sekaligus menjadi daya tarik kawasan Taman Nasional Ujung Kulon. Jadi jangan mimpi bisa menunggang badak kalau hanya sekali berkunjung ke Ujung Kulon.
"Saya lima belas tahun di sini saja, baru sekali melihat badak," kata Staf lapangan Organisasi Lingkungan World Wild Fund Ngatiman, Sabtu, 16 Juni 2012.
Tapi tak perlu kecewa tak bertemu badak. Hewan bercula satu itu meninggalkan banyak jejak di kawasan sekitar Ujung Kulon. Jejak itu adalah patung badak, gantungan kunci, teko, tas anyaman, hingga kaos. Jejaknya berubah menjadi penggerak ekonomi di sekitar kecamatan Sumur, Pandeglang, Banten. Kecamatan terdekat dengan Taman Nasional di bagian Gunung Honje utara.
"Biasanya rame pesanan kalau lagi liburan," ujar Armat Fauzi Ridwan, perajin kerajinan badak dari kayu. Pria 34 tahun itu, termasuk perintis dalam pembuat kerajinan badak. Sejak 25 Juni 1995, Armat bergabung dalam kelompok pertama pemberdayaan penduduk sekitar kawasan Taman Nasional oleh WWF. Tujuh belas tahun kemudian, rupa-rupa kerajinan badak kayu sudah bisa ditemukan di desa Ujungjaya dan Cibadak.
Armat mengklaim bahan baku ukirannya adalah kayu limbah. "Dari limbah bekas pembangunan rumah kayu warga sini," ujar pelatih kerajinan itu. "Kami tidak berani pakai kayu gelondongan dari kawasan (Taman Nasional)," ia menambahkan.
Kalau kekurangan bahan baku, biasanya mereka membeli sisa dari tukang kusen berupa kayu Lame dan kayu Mahoni. Hasta karya badak itu, menurut Armat, menjadi pengingat spesies langka yang kini tinggal 35 ekor di Ujung Kulon.
Dengan menjadi perajin, Armat bisa meraup pendapatan bersih Rp 500 ribu-Rp 1 juta per bulan. Untuk penjualan, selain di rumahnya, ukiran tersebut juga dipasarkan di stand WWF. Armat sudah murni menjadi perajin. Awalnya ia adalah penggarap sawah yang kadang berhenti tatkala kemarau tiba.
Kini ia melatih keterampilan membuat badak bagi warga Kampung Cinibung. Bagi Armat, menjadi perajin berarti mendapatkan penghasilan tambahan di musim kemarau, waktu bertani tak lagi menguntungkan.
Ngatiman menuturkan sebenarnya sebelum badak banyak jenis ukiran lain yang coba dibuat. "Tapi imaji badak di Ujung Kulon yang kuat, jadi hanya badak yang laku," ujarnya. Imaji Badak pula yang kini mulai dijual Ajat Sudrajat. Pria 63 tahun itu asyik mengampelas teko batok kelapa bernuansa badak ketika ditemui pada hari yang sama.
"Baru dua bulan ini saya buat yang begini," ujar pria yang sebelumnya perajin alat masak dari batok kelapa selama 20 tahun. "Ide sih ada aja, tapi Alloh baru menentukan sekarang," kata warga kampung Cikaung Ujungjaya itu mengungkapkan alasannya membuat seperangkat teko dan gelas bertema badak. Ajat belum mengumpulkan rupiah dari teko bermulut cula itu, tapi ia yakin efek badak bisa menambah nilai jual perabot minum tersebut.
Ide badak juga yang merasuki Nur, 26 tahun. Jiran Ajat itu bersama para Ibu kini membuat anyaman daun nipah berhias badak. Ada tas, tikar, tempat telepon. Baru empat bulan aktivitas mereka, tapi sudah banyak yang memesan anyaman itu, khususnya instansi pemerintah. Meski keberadaannya jarang terlihat, jejaknya adalah rupiah bagi warga Kecamatan Sumur.
Sumber : http://www.tempo.co/read/news/2012/06/19/198411441/p-Badak-Jawa-Penebar-Rupiah
Tidak ada komentar:
Posting Komentar