Rabu, 28 Januari 2015

Hujan Waktu Itu



15.00-14 okt 2011
Hening dan panas, terbangun dari kamar tidurku di rumah eyangku yang sempit, pengap, panas namun nyaman. laptop seperti biasa terbuka setia menemani, dengan lagu alm gesang yang membuat nuansa desa semakin kental di kamar ini. sesaat teringat akan cerita masa lalu, dikala anak kecil tertawa berlarian diantara pintu-pintu yang mulai sepi menderit. sapu-sapu melayang dan tawa anak kecil semakin keras terdengar dihiasi kaki-kaki kecil yang berlari semakin kencang menabrak pintu. sebuah coretan kecil masa lalu yang tergambar jelas diantara sketsa wajah karya hadinata yang menempel di tembok papan kayu kamar.
Minggu ini sastra semakin menguak diantara sendi dan otot otakku, semacam kromosom dalam sel darah merah yang semakin menggeliat membuat resah antara logika dengan perasaan. galau itu kalimat awal yang kemudian muncul diantara serpihan kalimat yang berjuta jumlahnya, kalimat alay yang kemudian terdapat setelahnya. namun logika merespon marah dengan memberikan pemikiran obyektif, bahwa tak ada yang namanya alay ataupun galau, yang ada hanya luapan emosi seorang manusia yang tertuang dalam berbagai sendi bahasa dan perilaku yang terkadang tak kita mengerti maksudnya.
Entah berapa juta kalimat dan kata melayang diantara sendi otak ini yang mengaburkan bayanganku tentang tempatku berpijak kini, semua yang aku tulis hanya sebagian luapan yang terdapat dalam otakku yang ingin keluar dan berteriak dari sempitnya pemikiran ini. ada yang tak mampu kulupa dari setiap perjalanan sendi kehidupan yang aku alami dalam beberapa tahun terakhir. aku memandang wajahku dalam kaca yang nampak jauh, seakan berat badanku semakin bertambah semenjak 3 tahun lalu aku menginjakan kaki di tanah perantauan, tak terasa hampir 3 tahun sudah aku bergulat di tanah rantau dan mengenal berbagai karakter perjalanan manusia.
Perjalanan semakin menarik, antara kenyataan idealisme dan impian, ini hal yang aku sadari bertolak dalam jiwa dan otakku yang menjadi sempit. aku bingung dalam tertawa, ketika sebuah celoteh menari nari diantara gemerlap kaki kaki yang bingung dengan kalimat ini. aku diam mengisyaratkan sebuah tulisan dalam secarik kertas yang berterbangan diantara sisi yang lain. mungkin tak akan pernah anda mengerti apa isinya. semua semakin berantakan dengan terbenturnya pemikiran dengan realitas yang menghadang sebagai tembok besar yang semakin rumit untuk dijelaskan dengan sebuah logika dan perasaan sekalipun, ada sesuatu yang aneh dalam pemikiranku kali ini, seakan semua terhenti pada satu distorsi kemudian menghilang dalam sisi poros yang berlainan arah.
Tak ada yang namanya manusia dalam sisi taraf ini, kucoba menerka siapa yang mampu menahan cerita dan otak ku yang semakin memuncak ingin meletus. semua hanya diam bingung dan menemukan titik buntu yang semakin bertautan dalam sisi yang beringas, sebuah lagu ini membuka inspirasi dari mata-mata yang menulis dalam bahasa-bahasa tanpa konsepan ini. semua abstrak tak ada yang relevan dalam EYD sekalipun semua semakin buyar metafora dan majas pun seakan diluar penalaran kali ini. diam menjadi pilihan saat ini, namun semua tak bisa selamanya diam, adakah yang bisa membuka dan menghiasi otak dan lidah yang kaku ini.
Entah kenapa, sebuah subyektifitas manusia semakin menjadi dasar sebuah pembenaran dalam berperilaku mereka, manusia memang makhluk sempurna dengan segala kesempurnaan yang dimilikinya, seakan menjadikan manusia menjadi “TUHAN” dalam menentukan sebuah kebenaran yang hakiki. Setiap manusia memiliki alasan dalam melakukan semua tindakannya, namun tidak semua alasan mampu untuk dijadikan sebagai sebuah alasan. Kita masih merasa sombong dengan kedangkalan ilmu kita, kita bersua memberikan penilaian subyektif kita sebagai sebuah obyektifitas dalam berfikir, kita tak lebih dari sebatas daging bernyawa dengan akal dan sifat yang komplek mengelilingi tiap sendi peredaran darah yang menjadi lambat dalam detak jantung yang semakin diam.
Kita berdiri disudut jalan dengan kaki yang rapuh dan mata yang memandang dari sisi kejauhan yang memberikan arti daripada sebuah kontradiktif pemikiranku sendiri. Semua mata menuju dalam titik hitam diantara pekatnya kabut yang  menutupi pandanganku hari ini, sebuah perjalanan manusia yang semakin lemah mengisi tiap jengkal nadi yang semakin surut oleh langkah yang mati. Aku tak mengerti kenapa susunan kalimat ini keluar dan bernyanyi diantara rimbunya kata kalimat yang semakin acak mengisi kesunyian jalan hari ini. ombak pun nampak terdiam membisu diantara derunya yang memecah gelombang angin. Aku masih sempat bernyanyi diantara nada-nada yang menjadi sumbang, mengulaskan sedikit makna yang tersembunyi dianta helai daun yang menjadi layu dan rapuh.
Layang-layang terkekang dan akhirnya terbang diantara gerimis yang membasahi bumi, terbang melawan angin yang berhembus diantara kertas yang telah koyak termakan cuaca. Aku hanya ingin tahu, kenapa aku harus memiliki susunan kata ini dalam otak kecilku, sebuah pohon besar tumbuh dan terus berkembang, namun akar tak mampu mencari air dan makanan jauh kedalam, sebuah benda besar menghadang dan tak mampu diterjang, seakan ada hati yang memberikan isyarat yang terhenti diantara rimbunnya pepohonan yang semakin hilang termakan masa. Biar kucumbui bayang bayang pohon, dan kusandarkan dalam bingkai kehidupan yang kini ada. Namun sebuah titik balik kehidupan datang dan menghilang diantara bekas pasir yang menjadi abu menguning.




 
-Mozienk-



Sebuah Kontradiksi dalam jiwa

Tidak ada komentar:

Posting Komentar